Haul Krakatau Mulai Dilupakan Warga

image

Suasana Haul Krakatau yang digelar di Masjid Caringin, Labuan, Banten, Kamis (22/9/2011). Acara yang digelar secara sederhana untuk mengenang meletusnya Krakatau tahun 1883 ini hanya diikuti sedikit warga.

Mamad Salwa (57) adalah warga Caringin di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dia generasi keempat saksi mata letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883. Mamad masih memelihara ingatan petaka Krakatau yang dikisahkan orangtuanya secara turuntemurun. "Hari itu, Jumat, 23 Syawal tahun 1300 Hijriah. Setelah bunyi letusan yang sangat keras, api menyembur dari arah Krakatau di tengah laut. Lalu langit tiba-tiba menjadi gelap," kisahnya.

Laut pun surut. Ikan menggelepar di pantai. "Kakek buyut saya segera lari karena ketakutan. Tetapi, banyak warga desa lainnya yang justru ke laut mengambil ikan. Merekalah yang kemudian menjadi korban," kata Mamad.

Saat sebagian besar warga sibuk mengambil ikan di pantai atau sekadar terperangah melihat keajaiban itu, air laut tiba-tiba datang menerjang. Gelombang tsunami menghantam, menewaskan nyaris seluruh warga desa. ”Kakek buyut kami selamat, tetapi saudara dan tetangganya kebanyakan tewas. Total warga Labuan yang tewas disebutkan 7.000 orang,” katanya.

Tiap tahun Mamad dan beberapa warga lainnya menggelar haul, semacam ritual doa bersama untuk mendoakan leluhur mereka yang menjadi korban. "Kami diberi amanat oleh orangtua agar setiap tahun menggelar haul ini," kata dia.

Tahun ini haul kembali diperingati. Namun, hanya sekitar 30 orang yang datang. Pengeras suara sudah berkali-kali memanggil warga agar datang ke Masjid Besar Labuan, tempat doa bersama akan digelar. Namun, sebagian besar warga tak acuh.

"Acara itu cuma begitu-begitu saja dan sudah sering dilakukan," kata Nuril (24) yang memilih menjaga warung kelontongnya, sekitar 20 meter dari Masjid Labuan. Dari warungnya, suara doa bersama itu jelas terdengar.

Mamad Salwa resah dengan semakin sedikitnya warga yang datang ke haul. ”Terutama anak-anak muda, mereka tidak mengerti dan tidak peduli dengan riwayat tanah ini,” kata dia. Padahal, menurut Mamad, peringatan ini sebenarnya bukan sekadar mendoakan leluhur. Mereka sekaligus merawat ingatan dan mendorong warga agar terus waspada bahwa tetangga mereka, Gunung Krakatau, bisa sewaktu-waktu kembali mengirim bala bencana.

Ingatan manusia memang terlalu pendek, apalagi bila dibandingkan periode letusan besar gunung api yang bisa ratusan hingga ribuan tahun. Ketika Anak Krakatau tengah membangun kekuatan sebagaimana leluhurnya, ingatan warga terhadap petaka yang diakibatkan letusan Gunung Krakatau justru semakin pudar.

Warga kembali memadati kawasan yang pernah dihancurkan tsunami dan dihanguskan awan panas akibat letusan Krakatau pada 1883, nyaris tanpa persiapan memadai. Tsunami yang berpotensi kembali terjadi hanya dibentengi bukit-bukit yang dikeruk, tanggul yang rapuh, jalur evakuasi yang tumpang tindih dengan pipa gas rawan meledak, serta pengetahuan tentang mitigasi bencana yang minim.

Di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, rumah-rumah nelayan rapat berjajar di pinggir pantai. Penghuninya kebanyakan berasal dari Cirebon, Brebes, dan sejumlah daerah di Jawa Timur. Tsunami setinggi 15 meter yang melanda kawasan ini lebih dari 200 tahun lalu tak terlihat lagi jejaknya, selain batu karang mati yang teronggok di pantai. Saat tsunami melanda kawasan ini, batu karang itu terbongkar dari dasar laut dan terbawa hingga jauh ke daratan. Sebagian batu karang itu kini dibongkar dan diratakan untuk fondasi rumah.

"Dulu pantai ini berlubang-lubang penuh batu karang. Malah ada kampung lama yang setelah tsunami tenggelam di tengah laut. Orang-orang menyebutnya Karang Kabua. Tempat itu katanya dulu nyambung dengan pantai ini," ujar Agus (46), warga Desa Teluk.

Agus merupakan generasi kedua. Keluarganya berasal dari Jawa Tengah yang datang ke Desa Teluk akhir tahun 1950-an. "Orang di sini semuanya pendatang. Leluhur kami meratakan pantai yang penuh karang dan membangun rumah di atasnya," ujarnya.

Setelah letusan Krakatau, kawasan pesisir di sepanjang Labuan menjadi lahan kosong tak berpenghuni. Orang asli yang selamat dari bencana itu takut untuk tinggal kembali di tepi pantai. "Kalau pendatang seperti kami, tidak tahu pas meletusnya, jadi kami tidak takut tinggal di sana," kata Agus. Krakatau bagi para pendatang justru memberinya rezeki lantaran banyaknya turis yang ingin berkunjung ke sana dan menyewa perahu mereka.

Sama seperti Labuan, Pulau Sebesi, yang seluruh penduduk aslinya tewas tersapu tsunami akibat letusan Krakatau 1883, juga kembali dipenuhi warga pendatang. Kepala Desa Tejang, Sebesi, Syahroni (45), bercerita, seluruh warga Pulau Sebesi merupakan pendatang dari Banten, Lampung, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Barat. Mereka juga mulai menghuni Sebesi sekitar tahun 1950.

Tidak adanya sambungan memori warga dengan Krakatau agaknya juga menyebabkan warga Sebesi tidak memiliki trauma dan ketakutan terhadap Anak Krakatau. Padahal, dari pulau itu, Anak Krakatau terlihat sangat dekat. Nyaris setiap Anak Krakatau meletus, abunya menutup seluruh genteng warga.

Tanah yang subur dan laut yang kaya ikan membuat warga abai dengan risiko letusan Anak Krakatau. Sebaliknya, kiriman abu Krakatau justru disyukuri sebagai berkah karena menyuburkan kebun kakao, pisang, dan kopra.

Tiadanya kepedulian terhadap risiko Anak Krakatau juga terlihat di Teluk Betung, Lampung. Gunung Kunyit, benteng alam yang melindungi warga Teluk Betung saat tsunami melanda kawasan ini tahun 1883, kini nyaris musnah karena ditambang.

Penambangan liar yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan bukit yang dulu menjorok 120 meter ke laut berubah menjadi teluk. "Kalau tidak ada Gunung Kunyit, bisa jadi tempat kami tinggal ini hancur disapu tsunami saat itu (letusan Krakatau 1883)," kata Sapami (39), warga Teluk Betung Selatan.

Kini, sepanjang kawasan pesisir Teluk Lampung yang pernah dihantam tsunami hingga ketinggian 30 meter ini telah disulap menjadi permukiman padat dan kawasan industri. Dari 1,2 juta jiwa penduduk Bandar Lampung, 10 persen di antaranya tinggal di kawasan pesisir ini.

Di kawasan industri Cilegon, Banten, bukit-bukit yang menjadi tumpuan evakuasi jika tsunami terjadi juga ditambang, misalnya, terjadi di Cikuasa Atas. Proyek penyebaran 40.000 pamflet berisi kiat-kiat penyelamatan dari bencana tsunami tak mempan menghadapi cangkul para petambang yang lapar.

Sejak tahun 2007, Pemerintah Kota Cilegon melalui pusat krisis—yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan—mulai menyosialisasikan kiat penyelamatan dari bencana industri, gempa, dan tsunami. Selain menyebar pamflet, mereka juga menyiapkan 15 lokasi evakuasi dan memasang jalur-jalurnya.

Tak semua warga paham dengan taktik mitigasi yang lebih mengandalkan penyebaran pamflet dan papan pengumuman ini. "Orang pasang plang tsunami seperti buang air. Habis pasang kabur. Apa maksudnya tidak pernah dijelaskan ke warga,” kata Yayat (37), warga Citeureup, Kecamatan Panimbang.

Sementara sebagian jalur evakuasi di Cilegon ternyata berada di atas pipa gas yang gampang meledak. Persis di depan menara sirine peringatan tsunami yang dibangun di jalur itu, sebuah papan peringatan lain menyebutkan, "Perhatian! Sepanjang jalur ini tertanam pipa gas tekanan tinggi."

Kota yang pernah dilanda tsunami ini juga menjadi pusat industri dan sebagian adalah industri kimia gampang terbakar. "Kami lebih takut pabrik kimia meledak daripada letusan Krakatau," kata Saiful (30), warga Kampung Kopo Kidul, Cilegon.

Kebakaran pabrik kimia di kawasan industri itu memang kerap terjadi sehingga segar menghantui ingatan warga. Misalnya, pada Febuari 2009, ledakan terjadi di salah satu tangki di sebuah pabrik pengolahan zat kimia di kawasan industri Ciwandan yang mengakibatkan lima pekerja terluka. Awal Febuari 2011, kembali warga Cilegon dikejutkan dengan ledakan pabrik kimia di kawasan industri Ciwandan.

Pemilihan Cilegon sebagai industri lebih karena kecelakaan sejarah. Kota-kota di Indonesia dibangun tanpa memperhitungkan ancaman gempa, tsunami, dan letusan gunung api. "Belum ada kota yang memperhatikan aspek bencana alam, seperti gempa dan tsunami dalam pembangunannya," kata Danny Hilman, ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Padahal, jejak petaka yang diakibatkan Krakatau jelas terbaca dan Anak Krakatau kini tengah membangun kekuatannya.(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono. Litbang: Rustiono) KOMPAS.com -

0 Response to "Haul Krakatau Mulai Dilupakan Warga"

Post a Comment

DITUNGGU KOMENTARNYA