Profesor Tukirin Partomihardjo, periset pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, memotret laba-laba di hutan Pulau Rakata, Selat Sunda, Rabu (17/8/2011). Berdasarkan penelitian, laba-laba adalah binatang yang pertama hidup pasca-letusan Gunung Krakatau 1883. Di Pulau Rakata yang merupakan bagian dari Gunung Krakatau purba, tim ekspedisi memfokuskan eksplorasi mengenai suksesi alam.
Di balik kedahsyatan letusannya, Krakatau mengajarkan tentang kekuatan daya hidup. Sedemikian dahsyat daya hancur gunung ini, sedemikian cepat pula kehidupan kembali hadir.
Dimulai dari laba-laba yang merajut jejaring di atas hamparan tabula rasa, aneka jenis makhluk hidup kemudian tumbuh dan berkembang di sana. Krakatau membangun tubuhnya, menghancurkan diri, lalu melahirkan Anak Krakatau, untuk menempa kita agar bersiasat hidup bersanding alam.
***
Kehidupan ternyata hadir dengan cara yang tak terduga. Ketika menyusuri lereng Anak Krakatau yang tertutup lapisan putih belerang dan sepertinya muskil untuk dihuni makhluk hidup, tiba-tiba kami dikagetkan teriakan Tukirin. "Lihat, banyak serangga di sini."
Dengan bergairah, Tukirin mengumpulkan berbagai jenis serangga dari gundukan putih yang mengepulkan asap tebal. Sebagian serangga telah mati terpanggang.
Tersembunyi di dalam cerukan bekas aliran lahar yang dipenuhi pasir dan lapili—kepingan lava berongga bergaris tengah 2-50 mm—Tukirin juga menemukan pakis kecil yang baru tumbuh. Tanaman berwarna hijau pucat itu kontras dengan warna legam tanah.
Secepat kehidupan terenggut, Tukirin menambahkan, secepat itu pula daya hidup datang menggeliat.
Krakatau menjadi ajang pertunjukan daya tahan kehidupan yang luar biasa. Pemusnahan akibat letusan gunung api Krakatau yang hiperaktif selalu diikuti dengan kemunculan kehidupan baru. "Tak lama setelah letusan Krakatau pada Agustus 1883, telah ditemukan laba-laba. Dialah spesies pertama di pulau gunung api ini," kata Tukirin.
Dia kemudian menuturkan kisah tentang kembalinya kehidupan di Krakatau. Kisah berawal dari perjalanan botanikus Belgia, Edmond Cotteau, yang datang ke Rakata pada Mei 1884, atau sembilan bulan setelah letusan. Cotteau datang bersama rombongan ekspedisi yang dibiayai Pemerintah Perancis.
Bertolak dari Batavia menggunakan kapal tongkang pengangkut batu, rombongan kesulitan mendarat di Rakata. Pantai yang mendangkal dipenuhi abu dan batu apung nyaris mustahil didekati kapal. Setelah mengelilingi pulau itu, mereka akhirnya menemukan ceruk sempit di sudut barat laut, yang diapit dinding lava terjal berlapis abu dan batu apung.
Cotteau dan rombongan awalnya hanya menemukan alam gersang sebagaimana dilaporkan Verbeek. "Vegetasi menakjubkan yang dulu sering dikagumi tidak tersisa. Yang terlihat hanyalah onggokan tonggak pohon, yang memutih dan kering, di tengah hamparan daratan gersang."
Namun, Cotteau yang berjalan sendirian ke arah selatan dari tempat pendaratan menemukan sesuatu yang mengubah persepsinya. Di antara hamparan pasir yang panas, dia melihat sesosok makhluk kecil yang bergairah. "Laba-laba kecil itu sibuk membuat jaring di atas pasir!" seru Cotteau.
Laba-laba itu seperti menenun jaring kehidupan di atas lapisan pertama tabula rasa. Dengan tekun, artropoda (binatang beruas) ini menebar jaring untuk mencari makan.
Pemandangan itu membuat Cotteau optimistis bahwa kehidupan baru kembali hadir di tabula rasa Rakata. "Sangat penting, menyaksikan langkah demi langkah kehidupan baru hadir di tanah ini. Berkat kehangatan matahari tropis dan hujan yang berlimpah, tanaman hijau subur akan kembali pulih," sebut Cotteau.
Optimisme Cotteau terbukti. Kehidupan kembali pulih di Krakatau. "Laba-laba adalah binatang yang sangat pantropis, tersebar di mana-mana. Anak laba-laba, yang halus seperti debu, dengan mudah diterbangkan angin lalu diterjunkan ke pulau ini," ujar Tukirin menjelaskan.
Penelitian Ian Thornton di Anak Krakatau menguatkan temuan Cotteau. Dalam bukunya, Island Colonization, 2007, Thornton menyebutkan, organisme pertama yang membangkitkan kehidupan di tabula rasa Krakatau ternyata bukanlah tanaman. Dalam sistem rantai makanan klasik, kehidupan berawal dari tanaman atau produsen, baru kemudian diikuti herbivora (spesies pemakan tumbuhan) lalu karnivora (spesies pemakan hewan). Adalah artropoda (termasuk laba-laba) penerjung payung dari luar area yang menjadi sumber energi utama pembangkit kehidupan itu.
"Di area kosong Anak Krakatau, yang tertutup sempurna abu dan lava, kami menemukan sekelompok serangga penerjun payung, sama dengan yang ditemukan di Gunung St Helens dan Hawaii setelah letusan," tulis Ian Thornton, yang pernah meneliti Krakatau bersama Tukirin.
Tahun 1985, Thornton memasang jaring 1,5 meter di atas aliran lava yang mengering. Dalam 10 hari dia berhasil mengumpulkan 70 spesies artropoda, meliputi laba-laba, lalat, dan berbagai jenis serangga lainnya. Dua puluh individu dikumpulkan per meter persegi dalam sehari. Diperkirakan sedikitnya setengah juta serangga tiba di area seluas 2,34 kilometer persegi di Anak Krakatau dalam kurun 10 hari.
Namun, kehidupan laba-laba di pulau itu hanyalah sesaat. Di pulau yang kosong tak ada mangsa untuk dijerat. "Laba-laba tidak dapat bertahan hidup lama di sana. Dia segera mati. Namun, kematiannya sangat berharga bagi Krakatau. Tubuhnya terurai menjadi materi organik yang nantinya diserap tumbuhan yang datang berikutnya," kata Tukirin.(Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono)
KOMPAS.com
0 Response to "Laba-laba Bangkitkan Kehidupan di Krakatau"
Post a Comment
DITUNGGU KOMENTARNYA