Suasana perkampungan di Desa Tejang, Pulau Sebesi, Rajabasa, Lampung, Jumat (12/8/2011). Pulau Sebesi, yang semua penduduk aslinya tewas tersapu letusan Krakatau pada 1883, kembali dipenuhi warga pendatang dari Banten, Lampung, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Barat. Mereka tidak mempunyai memori dan rasa takut terhadap Anak Krakatau yang posisinya sangat dekat dengan Pulau Sebesi.
Oleh Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, dan Ahmad Arif
Suasana perkampungan di Desa Tejang, Pulau Sebesi, Rajabasa, Lampung, Jumat (12/8/2011). Pulau Sebesi, yang semua penduduk aslinya tewas tersapu letusan Krakatau pada 1883, kembali dipenuhi warga pendatang dari Banten, Lampung, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Barat. Mereka tidak mempunyai memori dan rasa takut terhadap Anak Krakatau yang posisinya sangat dekat dengan Pulau Sebesi.
Kehidupan telah menggeliat di Pulau Sebesi saat matahari baru saja meninggalkan batas cakrawala. Para kuli sibuk memasukkan tandan pisang, kelapa, cokelat, dan hasil bumi lainnya ke kapal yang sandar di dermaga.
Hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Pulau Sebesi, Gunung Anak Krakatau bergeliat. Dari Sebesi, pulau berpenghuni yang paling dekat dengan Anak Krakatau, asap putih terlihat mengepul dari puncak gunung.
Setiap kali Anak Krakatau meletus, rumah dan kebun warga pasti tertutup abu. Munawaroh (36), warga Pulau Sebesi, mengatakan, abu letusan menyelusup masuk ke rumah. "Makanan yang telah dimasak harus ditutup karena abunya di mana-mana," ujar perempuan itu.
Namun, warga Sebesi seperti tak terusik dengan aktivitas gunung itu. ”Toh, letusannya tidak pernah besar,” demikian Ahmad Suheri (45), warga Desa Tejang, Sebesi. Ahmad tak pernah terpikir, Anak Krakatau akan meletus. Di matanya, gunung itu kecil untuk bisa membawa malapetaka hingga ke desanya.
Padahal, letusan Krakatau pada Agustus 1883 pernah memusnahkan kehidupan di Pulau Sebesi. Ahli botani Belgia, Edmond Cotteau, yang datang ke Sebesi, Mei 1884, menggambarkan dalam bukunya, Krakatau en de Straat Soenda (1886), seluruh pulau ini terkubur lapisan abu bercampur batu apung hingga kedalaman lebih dari 10 meter. Ia menemukan bekas desa yang telah binasa.
"Di antara sisa rumah yang hancur dan potongan perabot rumah, ada lima puluh kerangka. Beberapa dilapisi sarung berwarna-warni. Orang-orang malang itu tercekik di bawah hujan dingin lumpur," tulisnya.
Hingga kini, warga Sebesi kerap menemukan peninggalan yang terkubur, seperti perhiasan, pecahan keramik, dan koin Belanda. Bahkan, beberapa warga juga menemukan kerangka manusia. Salah seorang warga, Hayun (39), mengatakan, peninggalan itu biasa ditemukan saat menggali sumur di kedalaman 6-8 meter.
Pendatang
Kedahsyatan Krakatau pada masa lalu sama sekali tak mencekam warga Sebesi. Semua penduduk Sebesi merupakan pendatang yang tidak memiliki sambungan ingatan dengan masa lalu pulau ini. "Penduduk di sini semuanya pendatang. Kebanyakan dari Serang, Banten. Sisanya dari Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Banjarmasin," ujar Muchtar, tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Tejang.
Setelah letusan Krakatau, Pulau Sebesi tanpa penghuni. Baru sekitar tahun 1938 warga berdatangan ke sana. Semula seluruh pulau ini dikuasai Belanda, lalu diserahkan kepada seorang penguasa bernama Mohamad Saleh Ali.
Penghuni awal pulau ini kebanyakan orang asal Lampung yang membuka perkebunan lada dan kemudian kelapa. Sejak tahun 1970-an, orang Jawa datang ke sana. "Perkebunan yang telah dibuka lalu diburuhkan ke orang Jawa," kata Muchtar.
Kini, mayoritas penduduk menjadi petani yang hidup dari hasil kakao, pisang, dan kopra. "Punya 1 hektar saja kebun kakao, penghasilannya setara pegawai negeri golongan awal. Sebulan rata-rata Rp 2 juta-Rp 3 juta," ungkap Syahroni (45), Kepala Desa Tejang.
Namun, di pulau ini warga hanya ”menumpang” lantaran tidak memiliki sertifikat atau bukti otentik atas kepemilikan tanah. Sampai saat ini, sengketa tanah di Sebesi antara pemerintah dan keturunan Mohamad Saleh Ali masih belum usai dan warga tetap diwajibkan membayar semacam "pajak" kepada ahli waris pulau tersebut.
Persoalan status tanah itu tak membuat pendatang di Sebesi meninggalkan pulau tersebut. Kesuburan tanah dan ketersediaan air membuat warga betah. Penduduk pulau bertambah hingga kini 2.700 jiwa. Rumah sebagian besar warga terbuat dari batu bata bersemen. Jaringan listrik dan telepon seluler tersedia.
Keempat dusun di pulau ini pun terhubung jalan beton sepanjang 2,8 kilometer.
Tanpa persiapan
Hidup berkecukupan di Sebesi membuat masyarakat terlena dari ancaman bencana Krakatau yang bisa datang kapan saja. Pemerintah juga seakan tutup mata.
Masyarakat yang tinggal di pulau terdekat dengan Krakatau belum disiapkan mengantisipasi bencana. "Jalur dan lahan evakuasi juga belum ada hingga kini," ujar Ahyar Abu, tokoh masyarakat di Pulau Sebesi. "Masyarakat tidak tahu ke mana harus lari jika Krakatau meletus."
Kebingungan jelas terlihat saat tsunami melanda Aceh tahun 2004. Warga Sebesi yang panik dengan isu bahwa tsunami Aceh mencapai Selat Sunda berlarian tak tentu arah sambil berteriak-teriak, "Banjir... banjir...."
Syahroni membenarkan, hingga saat ini belum ada kegiatan mitigasi ataupun sosialisasi bencana Krakatau. Ia berkeyakinan, jika dipersiapkan dengan baik, jatuhnya korban bisa dikurangi. Pulau Sebesi memiliki Gunung Sebesi setinggi 884 meter, yang bisa menjadi zona evakuasi jika tsunami tiba-tiba menerjang kawasan ini.
Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Lampung Muhammad Fadli mengakui, sejauh ini belum ada kegiatan mitigasi di Lampung terkait ancaman letusan Anak Krakatau. Alasannya klasik, yakni ketiadaan anggaran.
Di tengah minimnya persiapan menghadapi ancaman bencana ini, warga merespons aktivitas Krakatau dengan penuh kepasrahan. "Kita sudah yakin. Mati dan hidup diserahkan kepada Allah. Walaupun mengungsi di puncak gunung sana (Puncak Sebesi), kalau Tuhan sudah menghendaki, mati juga kami. Lagi pula kami sudah terbiasa dengan keadaan, aman, aman saja," kata Muchtar.
KOMPAS.com
0 Response to "Di Bawah Bayangan Krakatau"
Post a Comment
DITUNGGU KOMENTARNYA