Oleh Bestian Nainggolan
Diskursus dampak letusan Gunung Krakatau sebagaimana yang terjadi tahun 1883, perlahan tenggelam dalam terjangan arus pemaknaan Krakatau sebagai kawasan ekonomi strategis yang menggiurkan. Dalam situasi semacam ini, mitigasi bencana rawan tergelincir dalam jebakan ekonomi.
Gunung Anak Krakatau belakangan ini menggeliat. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat ribuan aktivitas kegempaan setiap hari. Statusnya pun ditingkatkan dari Waspada menjadi Siaga.
Namun, aktivitas Krakatau dianggap belum terlalu mengkhawatirkan. Aktivitas Krakatau kali ini hanya disikapi dengan imbauan agar masyarakat tetap tenang, serta tidak memercayai isu tsunami. Masyarakat pun dilarang mendekati kawah dalam radius 2 kilometer.
Bagi sekitar 2.531 penduduk Desa Tejang, Pulau Sebesi, kawasan terdekat Krakatau, geliat Krakatau menjadi keseharian. "Kalau sekadar hujan abu, batuk-batuk, itu sudah biasa," kata Syaifuddin, Kepala Desa Tejang.
Menggiurkan
Tampaknya, Krakatau yang "menakutkan" hanya cerita lampau. Sebagian penduduk Kalianda, Lampung Selatan, misalnya, tidak lagi menyimpan banyak jejak keganasan Krakatau. Terjangan tsunami pada tahun 1883, seolah tidak lagi menjadi ancaman yang menakutkan. Warga kini justru menangkap laut sebagai "peluang" peningkatan ekonomi.
"Pantai kami sangat tenang, malah lebih mirip danau," ungkap Harji, pekerja sebuah resor di Kalianda. Ia optimistis masa depan pantai Kalianda, berikut daya tarik Krakatau, menjadi tujuan wisata favorit.
Optimisme Harji juga menyelimuti warga lainnya. Apalagi pemerintah juga menebarkan nuansa optimisme dengan akan dibangunnya Jembatan Selat Sunda (JSS) yang menghubungkan Jawa-Sumatera. Jembatan sepanjang 29 kilometer tersebut, menurut rencana, akan mulai dibangun tahun 2014, dan biayanya sekitar Rp 150 triliun.
Edi Novian, kepala Subdirektorat Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Kabupaten Lampung Selatan, mengungkapkan, dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2011-2031 kabupatennya, mengakomodasikan berbagai peluang dengan dibangunnya JSS.
Pembangunan rel kereta, jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar, dan pelebaran jalan sepanjang pantai Kalianda dijanjikan akan terwujud. Pantai Canti, Merak Belatung, Wartawan, Marina, dan pantai lainnya di wilayah ini menjadi tempat persinggahan lantaran pengguna kendaraan pribadi di- arahkan melintas jalan pantai. "Potensi ekonomi dan pariwisata kami akan berbuah," ungkapnya.
Tidak hanya Lampung, Banten juga menuai manfaat dari jembatan tersebut. Kehidupan industri, khususnya industri kimia dan pariwisata, yang terfokus di kawasan Selat Sunda, semakin marak. Saat ini saja, geliat investasi di Banten pesat. Hingga Juli 2011 tercatat 193 proyek dengan investasi sebesar Rp 12,9 triliun, urutan ke-4 dari 33 provinsi penerima investasi terbesar.
Melihat segenap langkah antisipatif kedua provinsi, terbayangkan betapa semaraknya aktivitas ekonomi di sepanjang Selat Sunda, kawasan yang juga rawan bencana. Persoalannya kini, seberapa jauh upaya mitigasi diwujudkan di kedua wilayah ini?
Komodifikasi
Kemungkinan terjadinya bencana telah terpaparkan dalam perencanaan. Letusan Krakatau paling dikhawatirkan akan melanda 7 kawasan industri strategis Banten, 2 pembangkit listrik, 4 kawasan pariwisata, dan fasilitas ekonomi rakyat. Menjadi semakin parah lantaran di dalam kawasan tersebut terdapat 35 industri pengolah bahan kimia berikut 26 pelabuhan kimia. Artinya, bencana letusan ataupun tsunami berpotensi mengakibatkan bencana ledakan kimia ataupun gas beracun yang mengancam 417.015 jiwa di Cilegon, Serang, dan Pandeglang.
Langkah mengurangi risiko bencana dilakukan. Kota Cilegon, tempat berkumpulnya industri kimia, memiliki pusat krisis yang menyebarkan informasi kemungkinan bencana. "Kami menempatkan dua sirene peringatan dini di Ciwandan dan Tegal wangi," ungkap Lilit Basuki dari Pusat Pengendalian Operasi, Crisis Centre Cilegon. Selain itu, jalur evakuasi telah ditentukan di kawasan ini. Begitu terjadi bencana, tsunami misalnya, sirene aktif mengingatkan penduduk.
"Beberapa waktu lalu pernah ada latihan bencana, sekarang tidak lagi. Lagi pula buat apa, Krakatau tidak akan meletus," ungkap Wahidin, yang lebih dari 30 tahun bermukim di Pantai Carita.
Bagi Wahidin, sekalipun bencana tiba, itu sebagai takdir. Dalam situasi demikian, sosialisasi bencana menjadi kurang efektif. Malah, tidak jarang yang terjadi selanjutnya muncul aksi "pembangkangan" warga, terutama kalangan pemegang kuasa. "Lihat saja keberadaan vila sepanjang pantai yang jelas rawan, tetapi sulit dikendalikan," ungkap Achyar.
Jika Banten bersama masyarakatnya masih bergelut dalam persoalan efektivitas mitigasi, Lampung Selatan justru menginterpretasikan model mitigasi Krakatau secara berbeda. Lampung selatan justru mengeruk material padat Krakatau di kawasan cagar alam, dengan dalih untuk semacam kantong lahar. Pemerintah pun menjalin kerja sama dengan swasta.
Tampaknya, di balik langkah-langkah mitigasi, aroma kalkulasi bisnis menyengat. Mitigasi pun terkomodifikasi.(Khrisna Panolih/Rustiono/Litbang Kompas)
KOMPAS.com
0 Response to "Geliat Krakatau yang Terkepung"
Post a Comment
DITUNGGU KOMENTARNYA