Antara Mitigasi dan Godaan Pasir Besi

image Tim Ekspedisi Cincin Api menapak lereng Gunung Anak Krakatau, perairan Selat Sunda, yang merupakan pasir vulkanik berwarna hitam, Senin (15/8/2011). Pasir hitam Gunung Anak Krakatau ini menggiurkan bagi sebagian pihak karena kualitas kandungan besinya tinggi.

Oleh Ahmad Arif,Yulvianus Harjono, dan Indira Permanasari

Pasir lembut menghampar luas di kaki Gunung Anak Krakatau. Warnanya hitam legam dan lengket di kaki yang basah. Di kejauhan, puncak Anak Krakatau terus menyemburkan asap, memberikan sinyal tanda bahaya, tetapi sekaligus menjanjikan pasokan pasir yang seolah tanpa batas.

Hingga sebelum Juni 1927, Anak Krakatau masih tersembunyi di laut. Kemunculannya ditandai dengan semburan air panas berbau belerang pada Juni 1927. Sejak saat itu, gunung ini tumbuh cepat hingga kini mencapai ketinggian 285 meter di atas permukaan laut. Dengan laju pertambahan ketinggian rata-rata 4 meter per tahun, Anak Krakatau dikhawatirkan suatu saat akan kembali meletus hebat sebagaimana leluhurnya.

Damin (70), nelayan dari Desa Teluk, Teluk Betung, Lampung, menyaksikan perkembangan Anak Krakatau tersebut sejak gunung itu masih berupa gundukan batu dan pasir yang menyembul di tengah laut. "Saat masih kecil, saya kadang berenang di sekitarnya. Sekarang sudah tinggi sekali, bikin ngeri. Bagaimana nanti kalau meletus," ujarnya.

Melihat pertumbuhan Anak Krakatau itu, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan juga mulai didera "kekhawatiran". Pada tahun 2008, mereka menyusun rencana mitigasi guna mengurangi dampak bencana dengan menggandeng perusahaan swasta.

Namun, rencana mitigasi itu menuai kontroversi karena lebih difokuskan kepada rekayasa fisik gunung. Bupati Lampung Selatan (saat itu) Zulkifli Anwar memberikan kuasa kepada perusahaan swasta tersebut untuk "membonsai" Anak Krakatau.

Awalnya, beberapa pejabat di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memberikan persetujuan. Namun, Kepala PVMBG Surono, yang waktu itu baru saja menjabat, menentangnya. Menurut Surono, upaya mitigasi itu tak lebih dari penambangan pasir besi dengan dalih mitigasi.

Wendy Melfa yang menggantikan Zulkifli sebagai bupati kembali melanjutkan program ini pada 2009. Dia mengizinkan dua kapal keruk beroperasi di perairan Anak Krakatau. Kembali upaya ini ditentang, termasuk oleh Kementerian Kehutanan, karena dianggap melanggar konservasi Cagar Alam Laut Krakatau. "Mereka bilang mitigasi, tetapi kapal itu menyedot pasir," kata Endang Widiastuti, dosen Biologi Kelautan Universitas Lampung. Proyek mitigasi akhirnya ditangguhkan setelah ditentang banyak kalangan.

Namun, upaya ini dilanjutkan Bupati Lampung Selatan yang baru, Rycko Menoza, mulai 2011. Perusahaan yang digandeng juga masih sama.

Fokus ke manusia

Surono kembali menolak rencana mitigasi yang diajukan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan tersebut. Menurut dia, pendekatan mitigasi itu keliru. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang harus diperhatikan dalam mitigasi bencana adalah manusia, bukan merekayasa gunungnya.

"Mitigasi secara struktural dengan membuat saluran untuk mengalirkan lava dan mengurangi material di Anak Krakatau tidak perlu dilakukan. Tidak ada penduduk di sana," ujar Surono.

Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan juga mengkhawatirkan mitigasi hanyalah alibi untuk mengeksploitasi Anak Krakatau. "Pasir hitam di Anak Krakatau memiliki kualitas kelas I," ujarnya

Menyandang status sebagai cagar alam laut, aktivitas di kompleks Krakatau sangat dibatasi, apalagi penambangan, tentulah dilarang.

Apalagi, bagi kalangan ahli botani, kompleks Krakatau adalah laboratorium alam yang sangat penting. "Ini satu-satunya laboratorium alam di dunia yang memiliki catatan rinci sejak awal kemunculan spesies dari kondisi steril akibat letusan. Kompleks Krakatau ini harus dijaga tetap alami," kata ahli botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tukirin Partomihardjo.

Berkeras

Sekretaris Daerah Lampung Selatan Sutono membantah pengajuan permohonan mitigasi in-situ (dalam kawasan) dilandasi kepentingan ekonomi. Menurut dia, mitigasi bencana Anak Krakatau perlu dilakukan dengan dua cara, yaitu ex-situ (di luar kawasan) dan in-situ. Upaya mitigasi in-situ, ungkap dia, bisa dilakukan dengan cara membuat saluran pengarah lava dan mengurangi material di gunung berupa pasir besi. Adapun ex-situ berupa sosialisasi dan penyiapan ke warga.

"Jadi, ini untuk keperluan jangka panjang. Kalau terjadi bencana, yang bakal dirugikan kan masyarakat kami," tuturnya.

Selain pengambilan material, disebut juga soal pemasangan sistem peringatan dini dan penyuluhan kepada warga tentang dampak bencana Anak Krakatau.

Warga Pulau Sebesi justru mempertanyakan proyek ini. ”Mereka lebih tertarik mengambil pasir. Itu bisa merusak karang yang jadi rumah ikan. Padahal, sebagian warga adalah nelayan,” ujar Jon, warga Sebesi.

Menurut Jon, yang lebih dibutuhkan warga Sebesi sebenarnya adalah sosialisasi soal ancaman bahaya dan pelatihan kesiapsiagaan terhadap letusan Anak Krakatau. Sejauh ini, warga pulau berpenghuni yang terdekat dengan Anak Krakatau itu belum pernah sekali pun mendapatkan pembelajaran tentang mitigasi bencana.

Potensi produksi tambang bijih besi di pulau ini mencapai 5.071 meter kubik. Pasir besi di Anak Krakatau memang menggoda. "Pengusaha sih enak dapat pasir besinya.... Kami tetap saja diabaikan. Jangan-jangan memang kami hanya jadi alasan untuk penambangan," kata Muchtar, warga Sebesi.

KOMPAS.com

0 Response to "Antara Mitigasi dan Godaan Pasir Besi"

Post a Comment

DITUNGGU KOMENTARNYA