Wilayah Jabung yang berada di Kabupaten Lampung Timur termasuk kecamatan yang memiliki kekayaan situs bersejarah paling berlimpah. Hingga saat ini, tercatat telah ditemukan lima situs dengan aneka peninggalan megalitikum (batu besar) dan benda-benda antik. Sayangnya, situs-situs tersebut tak terurus dengan baik.
Sekali waktu, cobalah mampir ke Kecamatan Jabung dan jelajahi lima situs bersejarah yang bertebaran di sana. Sekilas memang tak ada yang istimewa. Namun kalau Anda jeli, kelima situs bersejarah itu dapat menuntun kita mengenal jejak budaya yang unik jauh ke masa lalu.
Dua situs, Gedig dan Parigi, yang sudah diulas di harian ini edisi minggu lalu, misalnya, memiliki arti arkeologi tiada tara. Begitu juga dengan tiga situs lainnya yang dapat membantu kita menyelami kehidupan sosial budaya masyarakat tempo dulu, khususnya pada abad ke-10 sampai ke-14 berdasarkan peninggalan megalitikumnya.
Di situs Cicilik seluas 1,4 ha yang berada di Desa Asahan, misalnya, kita dapat belajar banyak hal. Situs yang secara geografis terletak pada koordinat 5o 29' 56" Lintang Selatan (LS) dan 105o 40' 52" Bujur Timur (BT) itu dikelilingi rawa yang memiliki sumber mata air.
Menurut peneliti dari Puslitbang Arkeologi, Rr Triwurjani Mhum, yang mengaji semua situs yang ada di Kecamatan Jabung, parit yang digali berbatasan langsung dengan rawa. Tampak timbunan tanah ditumpuk hanya di salah satu sisi, yakni di bagian daratan, sehingga menjadi tanggul.
"Berdasarkan denahnya, situs ini hanya memiliki satu ruang. Di sinilah (sisi bagian dalam) terdapat batu kandang yang merupakan hamparan batu monolit besar terdiri dari dolmen dan altar," kata Triwurjani dalam bukunya, Situs-situs Megalitik di DAS Sekampung (2011).
Penemuan Artefak
Penemuan Artefak
Tak jauh dari sana, ditemukan sebaran 152 pecahan porselen, 119 pecahan tembikar, tiga manik-manik berwarna biru dan cokelat, artefak logam, 1 kg kerak besi, dan 12 lelehan besi kecil dengan berat 200 gram. Artefak-artefak yang ditemukan umumnya berukuran kecil. Sementara itu, pada sisi luar, terdapat tiga punden yang terbuat dari tanah dan diberi penguat batu pada bagian pinggirnya. Triwurjani menceritakan, pada saat ditemukan, kondisinya memprihatinkan. "Batu-batunya sudah berserakan," ungkapnya.
Ukuran ketiga punden tersebut bervariasi. Punden 1 dan punden 2 berdiameter 9 m, sementara punden 3 bergaris tengah 10 m. Di lokasi ini juga ditemukan artefak berupa pecahan tembikar dan porselen.
Ukuran ketiga punden tersebut bervariasi. Punden 1 dan punden 2 berdiameter 9 m, sementara punden 3 bergaris tengah 10 m. Di lokasi ini juga ditemukan artefak berupa pecahan tembikar dan porselen.
Ia menduga berdasarkan temuan fitur dan sebaran artefak, dulu pernah ada permukiman pada sisi luar dan dalam ruang. Namun, jenis kegiatan yang dilakukan berbeda. Bagian dalam ruang digunakan untuk kegiatan atau aktivitas sehari-hari, sedangkan di bagian luar dibangun punden untuk kegiatan ritual tradisional.
Sampai sejauh ini, kita sulit melacak lebih jauh sejarah kehidupan tempo dulu. Apalagi kondisi situs sekarang sudah berubah wujudnya menjadi lahan perkebunan yang didominasi tanaman lada, kelapa, dan kopi.
Dari Situs Cicilik, Anda bisa beralih ke Situs Meris. Situs yang berada di Desa Asahan atau sekitar 400 meter dari Sungai Sekampung itu lebih mudah dituju karena berada di tepi jalan raya yang menghubungkan daerah Pugung Raharjo dan Kecamatan Jabung.
Jangan lupa membawa GPS (global positioning system). Jadi, ketika Anda berada pada posisi koordinat 5° 30' 29" LS dan 105° 40' 59" BT, berhentilah melangkah karena situs Meris berada di titik tersebut dengan ketinggian 54 meter di atas permukaan laut (m dpl).
Triwurjani menjelaskan situs seluas 4,2 ha itu terdiri dari satu ruang. Pada bagian dalam terdapat punden persegi. Sayangnya, kondisi punden tersebut kini sudah hampir rata dengan tanah. Batu-batunya juga berserakan tak teratur.
Lebih parah lagi, batu-batu tersebut sudah tidak lengkap. Ada kemungkinan batu tersebut diambil untuk berbagai keperluan, dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk bahan bangunan atau diambil peneliti sebagai bahan risetnya.
"Saya menduga, batu-batu itu memunyai bentuk seperti denah sebuah makam dari masa Islam dengan orientasi arah utara-selatan," ungkap dia. Di samping itu, pada bagian barat terdapat sebaran batu dolmen yang menyerupai batu kandang, pecahan tembikar, dan porselen.
"Saya menduga, batu-batu itu memunyai bentuk seperti denah sebuah makam dari masa Islam dengan orientasi arah utara-selatan," ungkap dia. Di samping itu, pada bagian barat terdapat sebaran batu dolmen yang menyerupai batu kandang, pecahan tembikar, dan porselen.
Menurut dia, seluruh situs dikelilingi oleh rawa. Gundukan tanah dan parit dibangun pada bagian utara dan timur. "Sekarang sebagian parit tersebut landai dan cenderung datar sejajar dengan permukaan tanah. Hal ini diakibatkan sejak tahun 1977 situs tersebut dijadikan lahan perkebunan lada," ungkap Triwurjani.
Di bagian luar dekat rawa tersebut, terdapat dua punden yang masing-masing berukuran panjang 8 m x 5 m dan 3 m x 3 m. Tak jauh dari situ, terdapat makam yang ditandai dengan susunan batu berbentuk kotak dengan orientasi utara-selatan.
Ditanami Jagung
Kini, di lahan yang subur itu, oleh penduduk ditanami jagung. Saat Triwurjani melakukan penelitian, bagian tertentu baru saja dibersihkan dengan cara dibakar. "Ketika itulah banyak artefak muncul ke permukaan," jelasnya.
Artefak-artefak itu berupa sebuah kapak batu, porselen, pecahan tembikar, dan kerak besi seberat 249 gram. Menurut dia, pecahan tembikar tersebut tadinya adalah tungku, tempayan, kendi, dan bentuk wadah.
Ia menduga intensitas kegiatan manusia paling banyak dilakukan di bagian luar gundukan tanah dan parit. Lalu, di manakah mereka bermukim ketika musim hujan tiba yang merendam seluruh daerah tersebut?
Triwurjani berlogika, gundukan tanah dan parit mampu mencegah air masuk ke ruang situs. Jadi, ketika musim hujan, mereka menempati bagian dalam ruang. Mereka baru berpindah ke bagian luar ketika musim kemarau.
Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat pemilik situs menggunakan bagian dalam dan luar ruangan berdasarkan musim yang sedang terjadi. Sementara itu, kegiatan pertanian bisa tetap berlangsung sepanjang tahun.
Situs kelima di Kecamatan Jabung adalah Situs Bengtengsari yang terdapat di Desa Bentengsari, tepatnya pada koordinat 5o 29'41" LS dan 105o 42' 48" BT dengan ketinggian 64 m dpl. Akses menuju situs itu juga mudah karena berdekatan dengan pabrik air mineral.
Situs seluas 3 ha itu dikelililingi gundukan tanah dan parit memanjang yang membentuk suatu ruangan. Gundukan itu laksana sebuah benteng dan berada di daratan rawa yang kering. Situs tersebut banyak mengandung air tanah yang menyatu dengan air rawa membentuk sungai kecil (Sungai Umbungan) yang mengalir ke Sungai Sekampung.
Tanahnya sangat subur karena tersusun dari endapan vulkanik dari Gunung Tanggamus. Berbagai kegiatan pertanian dan perkebunan kopi, kelapa, cokelat, dan karet menghasilkan produksi tinggi.
Yasin, 65 tahun, pernah beruntung. Mantan Kepala Desa Bentengsari itu menemukan mangkuk porselen yang masih utuh ketika sedang menggarap tanah. Mangkuk itu ditemukan pada kedalaman 2 m. b siswo
Ribuan Barang Antik Bertebaran di Situs Bentengsari
Dari kelima situs yang ada di Kecamatan Jabung, boleh jadi situs Bentengsari memiliki kisah masa lalu paling unik. Lihat saja peninggalan megalitikum dan artefaknya.
Di dalam situs tersebut, terdapat sebaran baru berlubang dan batu dakon dalam jumlah banya. Bukan hanya itu. Di sana juga terdapat artefak berupa ribuan porselen buatan China, Vietnam, dan Thailand. Porselen-porselen itu, menurut arkeolog Rr Triwurjani, berasal dari Dinasti Sung Yuan pada abad ke-13 sampai ke-14 M, Vietnam dan Thailand abad ke-15 hingga ke-16, dan Dinasti Ming pada abad ke-17 sampai ke-17.
Di samping itu, masyarakat pernah menemukan pecahan tembikar, kerak besi, uang logam, dan beberapa artefak lainnya. Di situs tersebut juga terdapat dua punden dengan garis tengah 8,7 m dan 7,4 m.
Temuan lain berupa empat makam berukuran panjang lebih dari 4 m. Salah satu makam bernisan menhir dengan orientasi utara-selatan terdapat di bagian atas punden itu. Orang menyebutnya Makam Salah Perintah.
Menurut Triwurjani, masyarakat situs Bentengsari sudah sejak lama mengenal logam. Mereka melakukan teknik tuang dan tempa besi meskipun dengan cara sangat sederhana. "Hal ini dapat dilihat berdasarkan bongkah-bongkah besi yang merupakan bekas lelehan yang sudah mengeras dengan bentuk tidak beraturan," ujarnya.
Secara alami, lahan di situs tersebut memang subur sehingga masyarakat memanfaatkannya untuk kegiatan pertanian. Bahkan ada yang memakai lahan tersebut sebagai permukiman penduduk. Sayang memang, tapi siapa yang mau peduli? b siswo http://koran-jakarta.com
0 Response to "Jabung"
Post a Comment
DITUNGGU KOMENTARNYA